-->

MAKALAH TRUTH TELLING

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang Masalah
Keperawatan merupakan salah satu profesi yang berkecimpung untuk kesejahteraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian. Sehingga perawat perlu mengetahui dan memahami tentang etik itu sendiri termasuk didalamnya prinsip etik dan kode etik.
Hubungan antara perawat dengan pasien atau tim medis yang lain tidaklah selalu bebas dari masalah. Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negara bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien. Para perawat juga harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan (Ismaini, 2001)
Dalam berjalannya proses semua profesi termasuk profesi keperawatan di dalamnya tidak lepas dari suatu permasalahan yang membutuhkan berbagai alternative jawaban yang belum tentu jawaban-jawaban tersebut bersifat memuaskan semua pihak. Hal itulah yang sering dikatakan sebagai sebuah dilema etik. Dalam dunia keperawatan sering kali dijumpai banyak adanya kasus dilema etik sehingga seorang perawat harus benar-benar tahu tentang etik dan dilema etik serta cara penyelesaian dilema etik supaya didapatkan keputusan yang terbaik.

1.2              Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian truth telling ?
2.      Apa tujuan truth telling ?
3.      Apa manfaat truth tellling ?
4.      Apa pentingnya truth telling ?
5.      Apa yang dimaksud dengan desepsi ?
6.      Apa yang perlu diperhatikan dalam truth telling ?
7.      Bagaimana truth telling sebagai hak pasien ?
8.      Bagaimana contoh kasus truth telling beserta penyelesaiannya ?

1.3              Tujuan Pembahasan
1.      Dapat memahami pengertian truth telling.
2.      Dapat memahami tujuan truth telling.
3.      Dapat memahami manfaat truth tellling.
4.      Dapat memahami pentingnya truth telling.
5.      Dapat memahami apa yang dimaksud dengan desepsi.
6.      Dapat memahami apa yang perlu diperhatikan dalam truth telling.
7.      Dapat memahami truth telling sebagai hak pasien.
8.      Dapat memahami contoh kasus truth telling beserta penyelesaiannya.

1.4              Manfaat Pembahasan
1.         Bagi Pembaca
Memberikan gambaran umum kepada mahasiswa keperawatan mengenai truth telling.
2.         Bagi Penulis
                   Dapat melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
3.         Bagi Pengajar
                   Sebagai referensi dan wujud nyata dari evaluasi atau materi yang diberikan.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Pengertian Truth Telling
Truth telling adalah komponen etik yang harus dimiliki seorang tenaga kesehatan sesuai dengan sumpah hipokrates dan perilaku profesional dalam menyampaikan kebenaran mengenai kondisi pasien.
Truth telling merupakan salah satu bentuk komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien dalam menyampaikan kebenaran yang berkaitan dengan kondisi pasien.
2.2     Tujuan Truth Telling
1.    Memfasilitasi terciptanya pencapaian tujuan kedua pihak (dokter dan pasien).
2.    Membantu pengembangan rencana perawatan pasien bersama pasien, untuk kepentingan pasien dan atas dasar kemampuan pasien, termasuk kemampuan finansial.
3.    Membantu memberikan pilihan dalam upaya penyelesaian masalah kesehatan pasien.
4.    Membimbing pasien sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang penyakit / masalah yang dihadapinya.
5.    Membantu mengendalikan kinerja dokter dengan acuan langkah-langkah atau hal-hal yang telah disetujui pasien.
2.3     Manfaat Truth Telling
1.    Meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis dari dokter atau institusi pelayanan medis.
2.    Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan dasar hubungan dokter-pasien yang baik.
3.    Meningkatkan keberhasilan diagnosis terapi dan tindakan medis.
4.    Meningkatkan kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam menghadapi penyakitnya.
2.4     Pentingnya Truth Telling
Truth telling sangat penting dalam hubungan dokter dengan pasien, truth telling sangat berperan dalam pengambilan keputusan secara otonomi oleh pasien untuk memilih dan bertindak demi kebaikan pasien secara matang dan tepat. Dalam pengambilan keputusan tersebut bertumpu pada otonomi individu pasien seutuhnya dimana setelah dokter menyampaikan informasi-informasi yang berkaitan dengan kondisinya (truth telling) diharapkan pengambilan keputusan tersebut pasien dapat memilih keputusan yang rasional dan ia yakin bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan yang terbaik baginya. Tanpa adanya truth telling maka akan menyebakan terhambatnya pengambilan keputusan pasien dan menghilangkan kepercayaan pasien dalam hubungannya dengan dokter.
Konsep kejujuran (veracity) merupakan prinsip etis yang mendasari berkata jujur. Prinsip kejujuran menurut Veatch dan Fry (1987) didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Kejujuran harus dimiliki perawat saat berhubungan dengan psien. Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat – pasien. Perawat sering tidak memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang sakit parah. Namun, penelitian pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu tentang kondisinya secara jujur (Veatch, 1978).
Seperti juga tugas yang lain, berkata jujur bersifat prima facie (tidak mutlak) sehingga desepsi pada keadaan tertentu diperbolehkan. Berbagai alasan yang dikemukakan dan mendukung posisi bahwa perawat harus berkata jujur yaitu : merupakan hal yang penting dalam hubungan saling percaya perawat – pasien ; pasien mempunyai hak untuk mengetahui ; merupakan kewajiban moral ; menghilangkan cemas dan penderitaan ; meningkatkan kerjasama pasien maupun keluarga ;  dan memenuhi kebutuhan perawat.
2.5     Desepsi
Berasal dari kata decieve yang berarti membuat orang percaya terhadap sesuatu hal yang tidak benar, menipu atau membohongi.
Desepsi meliputi :
·  berkata bohong
·  mengingkari atau menolak
·  tidak memberikan informasi
·  dan tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan/ tidak memberi penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan.
Berkata bohong merupakan tindakan desepsi yang paling dramatis karena dalam tindakan ini seseorang dituntut untuk membenarkan sesuatu yang diyakini salah. Salah satu contoh tindakan desepsi adalah perawat memberikan obat plasebo dan tidak memberitahu pasien tentang obat apa yang sebenarnya diberikan tersebut.
Tindakan desepsi ini secara etika tidak dibenarkan. Para ahli etika menyatakan bahwa tindakan desepsi membutuhkan keputusan yang jelas tentang siapa yang diharapkan melakukan tindakan tersebut.
Alasan-Alasan yang mendukung tindakan desepsi (mengatakan suatu hal yang tidak benar, menipu, atau membohongi) dalam Robert Priharjo (Pengantar Etika Keperawatan : 22) meliputi :
Pasien tidak mungkin dapat menerima kenyataan.
Pasien menghendaki untuk tidak diberitahu bila hal tersebut menyakitkan.
Secara profesional perawat mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan yang merugikan pasien, dan desepsi mungkin mempunyai manfaat untuk meningkatkan kerja sama pasien ( Freel; lih. McCloskey, 1990)
Mengucapkan pernyataan yang benar tidak menjamin berkurangnya penipuan karena terdapat kemungkinan pernyataan tersebut untuk menyesatkan atau menipu seseorang bahkan ketika yang disampaikan adalah laporan yang benar. Hal ini telah lama dikenal dalam kata-kata nasihat yang terkenal untuk “tell the truth, the whole truth, and nothing but the truth.” (mengatakan kebenaran, seluruh kebenaran, dan tidak ada yang lain tetapi kebenaran).
Berbohong adalah penipuan, tetapi ada bentuk-bentuk lain yaitu :
Beberapa orang menganggap kebohongan yang tidak penting menjadi "kebohongan putih" atau "fibbing." Jadi, misalnya, jika Anda tiba-tiba bertemu seorang teman lama yang benar-benar tidak terlihat menarik, Anda mungkin masih mengatakan kepadanya bahwa ia "tampak hebat." Konsultan kesehatan profesional mungkin juga mengucapkan kebohongan putih untuk mencoba menghibur pasien.
"False suggestion" terjadi ketika seseorang membuat pernyataan benar tetapi melewatkan informasi penting sehingga pendengar memiliki keyakinan yang salah.
"Eufemisme" adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Menyebut sebuah tumor "beberapa jaringan" atau "pertumbuhan" dapat menyesatkan orang sehingga berpikir situasi tersebut kurang serius daripada yang sebenarnya. Tenaga kesehatan profesional kadang-kadang menggunakan eufemisme untuk menghindari pasien dari keterkejutan atau kekhawatiran.
Membesar-besarkan dalam bentuk pernyataan yang berlebihan dapat dianggap sebagai bentuk penipuan.
Penipuan dapat terjadi dengan sengaja menahan, bersembunyi, menutupi, atau menyembunyikan kebenaran tanpa membuat pernyataan palsu. Seorang anak yang sengaja membuang nilai ulangan yang buruk untuk merahasiakannya dari orang tua dapat menyesatkan orang tua karena berpikir anak tersebut melakukan yang lebih baik di sekolah daripada sebenarnya. Selama bertahun-tahun tenaga kesehatan profesional mungkin terlibat dalam banyak kasus penipuan pasien ketika mereka pikir itu untuk kebaikan pasien.

2.6     Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Truth Telling
Ada hal - hal yang perlu di perhatikan dalam berkomunikasi untuk menyampaikan kebenaran kepada pasien, yaitu:
1.             Materi informasi apa yang akan diberikan
Menurut pasal 45 Undang-Undang Praktik Kedokteran, batasan informasi yang dapat diberikan pada pasien antara lain:
a)      Diagnosis dan tata cara tindakan medis.
b)      Tujuan tindakan medis yang dilakukan.
c)      Alternatif tindakan lain dan resikonya.
d)     Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
e)      Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
2.             Siapa yang diberi informasi
a)      Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan.
b)      Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.
c)      Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan bertanggung jawab atas pasien kalau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara langsung.
3.             Berapa banyak dan sejauh mana informasi yang diberikan
a)      Untuk pasien : sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa perlu untuk disampaikan, dengan memerhatikan kesiapan mental pasien.
b)      Untuk keluarga : sebanyak yang pasien/keluarga kehendaki dan sebanyak yang dokter perlukan agar dapat menentukan tindakan selanjutnya.
4.             Di mana tempat yang tepat untuk menyampaikannya
a)      Di ruang praktik dokter. 
b)      Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat.
c)      Di ruang diskusi.
d)     Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama, pasien/keluarga dan dokter.
5.             Bagaimana menyampaikannya informasi yang tepat
    1. Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung,tidak melalui telpon, juga tidak diberikan dalam bentuk tulisan yangdikirim melalui pos, faksimile, sms, internet. 
    2. Persiapan meliputi:
    materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis, prognosis sudah disepakati oleh tim);
    ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu orang lalu lalang, suara gaduh dari tv/radio,telepon;
    waktu yang cukup;
    mengetahui orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemani oleh keluarga/orang yang ditunjuk; bila hanya keluarga yang hadir sebaiknya lebih dari satu orang).
    1. Jajaki sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal yang akan dibicarakan. Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana informasi yang diinginkan dan amati kesiapan pasien/keluarga menerima informasi yang akan diberikan.
Dalam memberikan informasi kepada pasien, kadang kala agak sulit menentukan informasi yang mana yang harus diberikan, karena sangat bergantung pada usia, pendidikan, keadaan umum pasien dan mentalnya. Namun pada umumnya dapat berpedoman pada hal-hal berikut :
1)             Informasi yang diberikan haruslah dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien.
2)             Pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan-tindakan yang akan diambil, kemungkinan komplikasi dan risiko-risikonya.
3)             Untuk anak-anak dan pasien panyakit jiwa, informasi diberikan kepada orang tua atau walinya.
Siapakah yang berkewajiban menyampaikan informasi tersebut?
4)             Pihak yang paling tepat tentulah yang paling mengetahui keadaan pasien. Dalam hal ini, dokter yang bertanggung jawab terhadap perawatan pasien. Dalam Undang-undang R.I. No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52 dinyatakan bahwa hak-hak pasien adalah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
5)             Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan hak dan kewajiban pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan informasi. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination).
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien dalam penyampaian informasi pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih. Dalam truth telling pun dibutuhkan adanya empati yang juga sangat penting dalam menyampaikan informasi dan kebenaran kondisi pasien. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut :
  1. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician cognitive capacity to understand patient’s needs),
  2. Menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective sensitivity to patient’s feelings),
  3. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to patient).
  4. Menurut Verberne fungsi informasi dalam penyampaian truth telling bagi dokter adalah Informasi itu tidak hanya sungguh-sungguh penting untuk memperoleh izin/persetujuan yang disahkan oleh hukum, tetapi juga sesuatu yang bagaimanapun menjadi hak setiap pasien, antara lain karena adanya itikad baik yang mendasari setiap situasi perjanjian/kontrak. Ini berarti bahwa fungsi informasi itu adalah untuk melindungi dan menjamin pelaksanaan hak  pasien yaitu untuk menentukan apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya yang dianggap lebih penting daripada pemulihan kesehatannya itu sendiri. Di samping itu, informasi dari dokter tersebut harus diberikan berdasarkan itikad baik dari dokter yang bersangkutan. Dalam memberikan informasi dokter tidak hanya memberikan informasi atas semua pertanyaan yang diajukan oleh pasien tentang penyakitnya tetapi jugaharus memberikan informasi lain, baik berdasarkan adanya pertanyaan maupun tanpa adanya pertanyaan dari pasiennya. Sebab berdasarkan itikad baik yang dimaksudkan di atas, berarti informasi itu merupakan hak pasien dan kewajiban dari dokter untuk memberikannya. Namun tidak semua pasien dapat menerima dan memahami informasi yang diberikan oleh dokter.

2.7     Truth Telling sebagai Hak Pasien
          Dalam hubungan dokter dan pasien, pasien memiliki hak-haknya yang harus dihormati oleh para dokter. Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasrnya hak-hak pasien antara lain:
  1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati secara wajar.
  2. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi kedokteran.
  3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yangmengobatinya.
  4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik.
  5. Berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau rohaniawan, dan lain-lain yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit.
            Ada 4 kelompok/golongan pasien yang tidak perlu mendapatkan informasi yang sebenarnya secara langsung :
  1. Pasien yang akan dirugikan jika mendengar informasi tersebut, misalnya karena kondisinya tidak memungkinkan untuk mendengarkan informasi yang dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatannya.
  2. Pasien yang sakit jiwa dengan tingkat gangguan yang sudah tidak memungkinkan untuk berkomunikasi (cara berpikirnya tidak realistis, tidak bisa mendengar karena terperangkap oleh pemikirannya sendiri; menarik diri dari lingkungan dan mungkin hidup dalam dunia angannya sendiri, sulit kontak atau berkomunikasi dengan orang lain; tidak peduli pada dirinya sendiri maupun orang lain/lingkungan, tidak  peduli pada tampilannya, tidak merawat diri; mengalami kesulitan berpikir dan memusatkan perhatian, alur pikirnya tidak jelas, tidak logis; afeksi sukar atau tidak tersentuh).
  3. Pasien yang belum dewasa.
            Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur 21 tahun,
atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah. Pasal 1330 KUHPerdata, menyatakan bahwa seseorang yang tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah orang yang belum dewasa. Menurut KUH Perdata Pasal 1330, belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum menikah. Oleh karena perjanjian medis mempunyai sifat khusus maka tidak semua ketentuan hukum perdata di atas dapat diterapkan. Dokter tidak mungkin menolak mengobati pasien yang belum berusia 21 tahun yang datang sendirian ke tempat praktiknya. Permenkes tersebut menyatakan umur 21 tahun sebagai usia dewasa. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Bab 1 Pasal 1 ayat 1 yang dimaksud anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
4. Pasien yang tidak ingin mengetahui tentang penyakitnya. Dalam hal ini berlaku hak autonomy. Dimana pada saat ini dokter tidak akan melakukan truth telling sebab pasien sendiri menyatakan  suatu preferensi informasi untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Hal ini sangat penting karena pasien memikirkan dengan implikasi peran mereka dalam pengambilan keputusan. Jika mereka memilih untuk membuat keputusan untuk tidak diberitahu, bagaimanapun, preferensi ini harus dihormati. Dalam melakukan komunikasi, dokter perlu memahami bahwa yang dimaksud dengan komunikasi tidaklah hanya sekadar komunikasi verbal, melalui percakapan namun juga mencakup pengertian komunikasi secara menyeluruh. Dokter perlu memiliki kemampuan untuk menggali dan bertukar informasi secara verbal dan nonverbal dengan pasien pada semua usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega dan profesi lain. Kalau tidak berhati-hati dalam melakukan komunikasi, dokter bisa berhadapan dengan sanksi atau ancaman hukum karena dianggap melakukan pelanggaran. 
Pada penyakit yang serius, truth telling dibagi menjadi 4 yaitu:
  1. Truth Telling of Hope : yaitu memberikan informasi yang tidak boleh langsung memvonis harapan hidup seorang pasien yang sudah menderita penyakit yang parah namun memberikan harapan kepada pasien dan membuatnya percaya akan kesembuhannya.
  2. Truth Telling of Complience : yaitu memberikan informasi tentang kondisi yang sebenarnya kepada pasien namun tetap memperhatikan kondisi mental pasien apakah ia dapat menerimanya.
  3. Truth Telling of Rejection of Treatment : yaitu berterus terang atas penolakan pengobatan yang akan diberikan setelah dipertimbangkan dengan matang oleh pasien.
  4. Truth Telling in Case of Wrong Diagnosis : yaitu berterus terang atas kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara terbuka untuk membangun kepercayaan dengan pasien dan mengindari kesalahan-kesalahan dalam proses pengobatan.
Ada dua macam kondisi dalam truth telling yaitu :
  1. Rasional Truth Telling
Informasi yang diberikan oleh seorang dokter kepada pasien diperlukan untuk kesadaran pasien dalam penyembuhannya sehingga keputusan diambil secara rasional.
2.      Emergency Truth Telling
Saat ini dokter terkadang mengurangi informasi- informasi yang bisa membahayakan kondisi mental pasien. Jika bisa melemahkan kondisi pasien apabila diberitahukan namun jika si pasien meminta sendiri maka dokter pun harus memberitahunya pula.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam penyampaian informasi menurut KKI :
  1. Disampaikan dalam konteks sosial dan budaya serta latar belakang pasien.
  2. Menawarkan pasien untuk melibatkan keluarga dalam diskusi.
  3. Disampaikan dengan penuh empati terutama informasi yang akan membuat pasien merasa tertekan.
  4. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan benar.
  5. Memberikan cukup waktu kepada pasien untuk menelaah informasi.
  6. Jika diperlukan, mengajak salah satu tim medis untuk memberi dukungan atau membantu memberi penjelasan.

2.8       Contoh Kasus
Suatu hari ada seorang bapak bernama Tono dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah Sakit dengan gejala demam dan diare, mual, dan muntah kurang lebih selama 6 hari. Selain itu bapak tersebut menderita batuk dan sakit tenggorokan sudah 6 bulan tidak sembuh-sembuh, serta berat badannya turun secara berangsur-angsur. Semula bapak tersebut badannya gemuk tapi 3 bulan terakhir ini badannya semakin kurus dan telah turun 10 Kg dari berat badan semula. Bapak Tono ini merupakan seorang mantan TKI di Malaysia yang baru pulang 5 bulan yang lalu.
Bapak ini masuk UGD kemudian dari dokter disarankan untuk opname di ruang penyakit dalam karena kondisi Pak Tono yang sudah sangat lemas. Keesokan harinya dokter yang menangani Bapak Tono melakukan kunjungan, dan memberikan saran kepada perawatnya untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darah Pak Tono. Pak Tono yang ingin tahu sekali tentang penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera memberi tahu penyakitnya setelah didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya pukul 16.00 WIB hasil pemeriksaan telah diterima oleh perawat tersebut dan telah dibaca oleh dokternya. Hasilnya mengatakan bahwa Pak Tono positif terjangkit penyakit HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut memanggil keluarga Pak Tono untuk menghadap dokter yang menangani Pak Tono. Bersama dokter dan seijin dokter tersebut, perawat menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya. Keluarga terlihat kaget dan bingung. Keluarga meminta kepada dokter terutama perawat untuk tidak memberitahukan penyakit yang diderita Pak Tono ini kepada Pak Tono. Keluarga takut Pak Tono akan frustasi, tidak mau menerima kondisinya dan dikucilkan oleh masyarakat.







Perawat tersebut mengalami dilema etik dimana di satu sisi dia harus memenuhi permintaan keluarga namun di sisi lain perawat  tersebut harus memberitahukan kondisi yang dialami oleh Pak Tono karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya.
Perawat tersebut berusaha untuk memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan etika dan  legal yaitu dia menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien dan keluarga. Selain itu dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien salah satunya adalah memberikan informasi yang dibutuhkan pasien atau informasi yang sebenarnya tentang kondisi dan penyakitnya.
Dengan keputusan keluarga pasien yang berlawanan dengan keinginan pasien tersebut maka perawat harus memikirkan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan berbagai konsekuensi dari masing-masing alternatif tindakan. Etika perawat melandasi perawat dalam  melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Dalam penyelesaian kasus dilema etik seperti ini diperlukan strategi untuk mengatasinya karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan pendapat antar tim medis yang terlibat termasuk dengan pihak keluarga pasien. Jika perbedaan pendapat ini terus berlanjut maka akan timbul masalah komunikasi dan kerjasama antar tim medis menjadi tidak optimal. Hal ini jelas akan membawa dampak ketidaknyamanan pasien dalam mendapatkan pelayanan keperawatan. Berbagai model pendekatan bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah dilema etik ini. Tapi disini kelompok kami akan mencoba menyelesaikan kasus ini berdasarkan pendekatan model Megan, kerangka penyelesaian sebagai berikut :
1.                  Mengkaji situasi
                 Dalam hal ini perawat harus bisa melihat situasi, mengidentifikasi masalah/situasi dan menganalisa situasi. Dari kasus diatas dapat ditemukan permasalahan atau situasi sebagai berikut :
·         Pak Tono dapat  menggunakan haknya sebagai pasien untuk mengetahui penyakit yang dideritanya sekarang sehingga Pak Tono meminta perawat tersebut memberikan informasi tentang hasil pemeriksaan kepadanya. 
·         Rasa kasih sayang keluarga terhadap Pak Tono membuat keluarganya berniat menyembunyikan informasi tentang hasil pemeriksaan tersebut dan meminta perawat untuk tidak menginformasikannya kepada Pak Tono dengan pertimbangan keluarga takut jika Pak Tono akan frustasi tidak bisa menerima kondisinya sekarang
·         Perawat merasa bingung dan dilema dihadapkan pada dua pilihan dimana dia harus memenuhi permintaan keluarga, tapi di sisi lain dia juga harus memenuhi haknya pasien untuk memperoleh informasi tentang hasil pemeriksaan atau kondisinya.
2.                  Mendiagnosa Masalah Etik Moral
Berdasarkan kasus dan analisa situasi diatas maka bisa menimbulkan permasalahan etik moral jika perawat tersebut tidak memberikan informasi kepada Bapak Tono terkait dengan penyakitnya karena itu merupakan  hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang kondisi pasien termasuk penyakitnya.

3.                  Membuat Tujuan dan Rencana Pemecahan
Alternatif-alternatif rencana harus dipikirkan dan direncanakan oleh perawat bersama tim medis yang lain dalam mengatasi permasalahan dilema etik seperti ini. Adapun alternatif rencana yang bisa dilakukan antara lain :
a.                   Perawat akan melakukan kegiatan seperti biasa tanpa memberikan informasi hasil pemeriksaan/penyakit Bapak Tono saat itu juga, tetapi memilih waktu yang tepat ketika kondisi pasien dan situasinya mendukung. Hal ini bertujuan supaya pak Tono tidak panik yang berlebihan ketika mendapatkan informasi seperti itu karena sebelumnya telah dilakukan pendekatan-pendekatan oleh perawat. Selain itu untuk alternatif rencana ini diperlukan juga suatu bentuk motivasi/support sistem yang kuat dari keluarga. Keluarga harus tetap menemani pak Tono tanpa ada sedikitpun perilaku dari keluarga yang menunjukkan perilaku menghindar dari pak Tono. Dengan demikian diharapkan secara perlahan, pak Tono akan merasa nyaman dengan support yang ada sehingga perawat dan tim medis akan menginformasikan kondisi yang sebenarnya.
Ketika jalannya proses sebelum diputuskan untuk memberitahu pak Tono tentang kondisinya dan  ternyata pak Tono menanyakan kondisinya ulang, maka perawat tersebut bisa menjelaskan bahwa hasil pemeriksaannya masih dalam proses tim medis.
Alternatif ini tetap memiliki kelemahan yaitu perawat tidak segera memberikan informasi yang dibutuhkan bapak ini dan tidak jujur saat itu walaupun pada akhirnya perawat tersebut akan menginformasikan yang sebenarnya jika situasinya sudah tepat. Ketidakjujuran merupakan suatu bentuk pelanggaran kode etik keperawatan.
b.                  Perawat akan melakukan tanggung jawabnya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien terutama hak pak Tono untuk mengetahui penyakitnya, sehingga ketika hasil pemeriksaan sudah ada dan sudah didiskusikan dengan tim medis maka perawat akan langsung menginformasikan kondisi bapak Tono tersebut atas seijin dokter. Ini dilakukan juga merujuk pada Truth Telling of Complience dan Emergency Truth Telling.
Alternatif ini bertujuan supaya pak Tono merasa dihargai dan dihormati haknya sebagai pasien serta perawat tetap tidak melanggar etika keperawatan. Hal ini juga dapat berdampak pada psikologisnya dan proses penyembuhannya. Misalnya ketika Pak Tono secara lambat laun mengetahui penyakitnya sendiri atau tahu dari anggota keluarga yang membocorkan informasi, maka pak Tono akan beranggapan bahwa tim medis terutama perawat dan keluarganya sendiri berbohong kepadanya. Dia bisa beranggapan merasa tidak dihargai lagi atau berpikiran bahwa perawat dan keluarganya merahasiakannya karena orang dengan HIV/AIDS  merupakan “aib” yang dapat mempermalukan keluarga dan Rumah Sakit. Kondisi seperti inilah yang mengguncangkan psikis pak Tono nantinya yang akhirnya bisa memperburuk keadaan pak Tono sendiri. Sehingga pemberian informasi secara langsung dan jujur kepada pak Tono perlu dilakukan untuk menghindari hal tersebut.
           Kendala-kendala yang mungkin timbul :
1)             Keluarga tetap tidak setuju untuk memberikan informasi tersebut.
Sebenarnya maksud dari keluarga tersebut adalah benar karena tidak ingin Pak Tono frustasi dengan kondisinya. Tetapi seperti yang diceritakan diatas bahwa ketika Pak Tono tahu dengan sendirinya justru akan mengguncang psikisnya dengan anggapan-anggapan yang bersifat emosional yang bisa memperburuk kondisinya. Perawat tersebut harus mendekati keluarga Pak Tono dan menjelaskan tentang dampak-dampaknya jika tidak menginformasikan hal yang sebenarnya. Jika keluarga tersebut tetap tidak mengijinkan, maka perawat dan tim medis lain bisa menegaskan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab atas dampak yang terjadi nantinya. Selain itu sesuai dengan Kepmenkes 1239/2001 yang mengatakan bahwa perawat berhak menolak pihak lain yang memberikan permintaan yang bertentangan dengan kode etik dan profesi keperawatan.
2)             Keluarga telah mengijinkan tetapi pasien  memberikan penolakan dengan informasi yang diberikan perawat.
Perawat harus tetap melakukan pendekatan-pendekatan secara psikis untuk memotivasi pasien. Perawat juga meminta keluarga untuk tetap memberikan support sistemnya dan tidak menunjukkan perilaku mengucilkan pasien tersebut. Hal ini perlu proses adaptasi sehingga lama kelamaan pasien diharapkan dapat menerima kondisinya dan mempunyai semangat untuk sembuh.

4.                  Melaksanakan Rencana
Alternatif-alternatif rencana tersebut harus dipertimbangkan dan didiskusikan dengan tim medis yang terlibat supaya tidak melanggar kode etik keperawatan. Sehingga bisa diputuskan mana alternatif yang akan diambil. Dalam mengambil keputusan pada pasien dengan dilema etik harus berdasar pada prinsip-prinsip moral yang berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu ( John Stone, 1989 ), yang meliputi :
a.              Autonomy / Otonomi
Pada prinsip ini perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dan keluarganya tapi ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak setuju maka perawat harus mengutamakan hak pasien tersebut untuk mendapatkan informasi tentang kondisinya.
b.             Benefesience / Kemurahan Hati
Prinsip ini mendorong perawat untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan yang baik dan tidak merugikan pasien. Sehingga perawat bisa memilih diantara 2 alternatif diatas mana yang paling baik dan tepat.
c.              Justice / Keadilan
Perawat harus menerapkan prinsip moral adil dalam melayani pasien. Adil berarti pasien mendapatkan haknya yaitu memperoleh informasi tentang penyakitnya secara jelas sesuai dengan konteksnya/kondisinya.
d.             Nonmaleficience / Tidak merugikan
Keputusan yang dibuat perawat tersebut nantinya tidak menimbulkan kerugian pada pasien baik secara fisik ataupun psikis yang kronis nantinya.
e.              Veracity / Kejujuran
Perawat harus bertindak jujur jangan menutup-nutupi atau membohongi pasien tentang penyakitnya. Karena hal ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab perawat untuk memberikan informasi yang dibutuhkan pasien secara benar dan jujur sehingga pasien akan merasa dihargai dan dipenuhi haknya.
f.              Fedelity / Menepati Janji
Perawat harus menepati janji yang sudah disepakati dengan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan yang mengatakan bahwa perawat bersedia akan menginformasikan hasil pemeriksaan jika hasil pemeriksaannya sudah selesai. Janji tersebut harus tetap dipenuhi walaupun hasil pemeriksaan tidak seperti yang diharapkan karena ini mempengaruhi tingkat kepercayaan pasien terhadap perawat tersebut nantinya.
g.             Confidentiality / Kerahasiaan
Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral etik keperawatan yaitu menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin kerahasiaan segala sesuatu yang telah dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.

Berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip moral, keputusan yang bisa diambil dari dua alternatif di atas lebih mendukung untuk alternatif ke-2 yaitu secara langsung memberikan informasi tentang kondisi pasien setelah hasil pemeriksaan selesai dan didiskusikan dengan semua yang terlibat. Mengingat alternatif ini akan membuat pasien lebih dihargai dan dipenuhi haknya sebagai pasien walaupun kedua alternatif tersebut memiliki kelemahan masing-masing. Hasil keputusan tersebut kemudian dilaksanakan sesuai rencana dengan pendekatan-pendekatan dan caringserta komunikasi terapeutik.

5.                  Mengevaluasi Hasil
Alternatif yang dilaksanakan kemudian dimonitoring dan dievaluasi sejauh mana bapak Tono beradaptasi tentang informasi yang sudah diberikan. Jika pak Tono masih melakukan penolakan terhadap kenyataan sehubungan dengan informasi yang telah diterimanya, maka pendekatan-pendekatan tetap terus dilakukan dan support tetap terus diberikan yang pada intinya membuat pasien merasa ditemani, dihargai dan disayangi tanpa ada rasa dikucilkan.






BAB III
PENUTUP

3.1                   Kesimpulan
Dalam upaya mendorong kemajuan profesi keperawatan agar dapat diterima dan dihargai oleh pasien, masyarakat atau profesi lain, maka perawat harus memanfaatkan nilai-nilai keperawatan dalam menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang kuat dalam mengemban peran profesionalnya. Dengan demikian perawat yang menerima tanggung jawab, dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara etis profesional. Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan standar dan melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan bagi keselamatan pasien, penghormatan terhadap hak-hak pasien, dan akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Selain itu dalam menyelesaikan permasalahan etik atau dilema etik keperawatan harus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip etik supaya tidak merugikan salah satu pihak.
3.2                   Saran

Pembelajaran tentang etika dan moral dalam dunia profesi terutama bidang keperawatan harus ditanamkan kepada mahasiswa sedini mungkin supaya nantinya mereka bisa lebih memahami tentang etika keperawatan sehingga akan berbuat atau bertindak sesuai kode etiknya (kode etik keperawatan).

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "MAKALAH TRUTH TELLING"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel